Dunia baru saja selesai menghadapai wabah covid-19. Meski begitu, pandemi yang baru saja dihadapi menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana patogen tersebut dapat menimbulkan wabah yang meluas. Padahal, teknologi dan pelayanan kesehatan kini semakin modern.
Selain infeksi, permasalahan lingkungan turut menjadi ancaman bagi kelangsungan hidup manusia. Ketika suhu global meningkat, perubahan jangka panjang pada iklim dan pemanasan global dapat berdampak signifikan pada kesehatan manusia dan meningkatkan risiko penyakit menular seperti virus corona (COVID-19).
Berkaca dari kemunculan patogen-patogen infeksi baru dan kecepatan mutasi virus Covid-19 di tengah perubahan iklim yang dialami dunia, tentu akan menimbulkan pertanyaan, apa korelasi antara kemunculan patogen baru terhadap perubahan iklim jangka panjang yang dialami dunia?
Perubahan Cuaca Meningkatkan Resiko Penyakit Menular
Variabilitas iklim dan perubahan iklim mempengaruhi pola penularan penyakit menular dalam berbagai cara. Misalnya, penyakit yang secara tradisional terkait dengan daerah tropis dan subtropis sedang menjangkau wilayah baru di dunia. Meningkatnya suhu dan curah hujan membuat negara-negara beriklim sedang, utara atau pegunungan lebih rentan terhadap wabah penyakit “selatan” atau “dataran rendah” seperti malaria.
Nepal, yang sebelumnya terlalu dingin untuk demam berdarah, mengalami wabah pertama pada tahun 2006, dengan beberapa kasus. Sejak itu, kejadian demam berdarah meningkat secara signifikan. Sebelum tahun 1970, demam berdarah menyebabkan wabah parah hanya di sembilan negara. Sekarang endemik di lebih dari 100 negara, menurut WHO.
Pemanasan Global Dapat Menyebabkan Mutasi Virus
Iklim yang berubah juga dapat membuka kunci penyakit menular baru karena patogen bermutasi dan berevolusi untuk beradaptasi dengan suhu yang lebih hangat di sebagian besar dunia. Hal ini tentunya akan menimbulkan kekhawatiran bagi umat manusia.
Sebuah studi yang diterbitkan oleh Universitas Johns Hopkins pada Januari 2020 menerangkan bahwa perubahan iklim akan menyebabkan penyakit baru yang tahan panas berkembang yang membahayakan salah satu pertahanan alami utama kita yakni demam, kemampuan mamalia untuk mempertahankan suhu tinggi untuk melawan infeksi.
Pencairan Es di Kutub Membangkitkan Patogen
Suhu di Lingkaran Arktik meningkat dengan cepat — sekitar tiga kali lebih cepat daripada di belahan dunia lainnya. Saat es dan lapisan es mencair, tidak hanya mempercepat perubahan iklim, tetapi agen infeksi dapat (kembali) muncul. Permafrost adalah daratan yang membeku. Permafrost merupakan pelindung mikroba dan virus yang sangat baik karena dingin, tanpa oksigen, dan gelap.
Studi ilmiah menunjukkan bahwa patogen tertentu seperti bakteri, virus, dan jamur dapat bertahan hidup bahkan setelah dibekukan selama ratusan, ribuan, bahkan jutaan tahun.
Misalnya, para ilmuwan telah menemukan fragmen asam ribonukleat (RNA) dari virus flu Spanyol 1918 di mayat yang dikubur di kuburan massal di tundra Alaska. Pada tahun 2016, seorang anak berusia 12 tahun meninggal dan 20 orang terinfeksi anthrax di daerah terpencil Siberia di mana gelombang panas telah mencairkan tanah permafrost, memperlihatkan mayat rusa kutub yang telah mati 75 tahun sebelumnya karena penyakit tersebut. Bentuk dormant/spora dari Bacillus anthracis dapat bertahan pada lingkungan ekstrim dalam waktu yang lama sehingga ketika lingkungan cukup baik untuk hidup, perkembangan patogen ini kembali aktif.
Tim peneliti lain mengumpulkan sampel es glasial tertua di bumi dari 50 meter di bawah permukaan di Tibet dan menemukan 28 virus purba yang sebelumnya tidak diketahui para ilmuwan. Saat es mencair karena perubahan iklim, ada kekhawatiran bahwa patogen dapat dilepaskan sehingga sistem kekebalan kita tidak siap.
Perubahan Iklim Meningkatkan Risiko Penularan Virus Lintas Spesies
Berdasarkan penelitian Colin J. Carlson dkk yang diterbitkan di Jurnal Nature, dalam 50 tahun ke depan, perubahan iklim akan mendorong ribuan virus berpindah dari satu spesies mamalia ke spesies lain. Hal ini juga akan meningkatkan potensi penularan virus dari binatang ke manusia (zoonosis) dan menyebabkan pandemi baru.
Para ilmuwan telah lama memperingatkan bahwa planet yang memanas dapat meningkatkan potensi penyakit. Malaria misalnya, diperkirakan akan menyebar saat nyamuk yang membawanya memperluas jangkauannya ke daerah yang memanas. Namun perubahan iklim mungkin juga mengantarkan penyakit baru, dengan potensi patogen pindah ke spesies inang baru.
Dr Carlson dkk juga menunjukkan bahwa spesies yang berkerabat dekat lebih mungkin berbagi virus daripada kerabat jauh. Hal tersebut dimungkinkan karena mamalia yang berkerabat dekat memiliki sifat biokimia yang mirip. Sebuah virus yang diadaptasi untuk mengeksploitasi satu spesies lebih mungkin untuk berkembang dalam satu kerabat. Di antara 3.139 spesies yang dipelajari, para peneliti mengantisipasi lebih dari 4.000 kasus virus akan berpindah dari satu spesies ke spesies lainnya.
Penelitian tersebut juga menjelaskan secara spesifik peran kelelawar. Kelelawar yang hidup di kawasan Asia Tenggara sangat rentan terhadap penularan yang sekaligus menjadi vektor. Hal ini disebabkan, ketika suhu lingkungan habitat kelelawar tidak lagi sesuai, maka kelelawar akan terbang menuju tempat baru untuk hidup dan kemungkinan besar akan bertemu spesies baru.
Hasil penelitian ini sudah seharusnya menjadi peringatan bagi manusia. Virus yang pindah ke spesies inang baru dapat berevolusi dan memungkinkan untuk menginfeksi manusia. Seperti virus corona penyebab SARS tahun 2002 yang berasal dari kelelawar Tiongkok yang berpindah inang ke rakun, kemudian menginfeksi manusia.
Memerangi Perubahan Iklim Berarti Memerangi Penyakit Infeksi
Pandemi Covid-19 yang baru selesai kita hadapi menjadi peringatan bagi seluruh dunia untuk mulai memperhatikan lingkungan dan kebiasaan hidupnya. Diperlukan juga penggunaan sistem pengawasan dan teknologi yang lebih baik terhadap perubahan iklim dan dampaknya terhadap kemunculan dan penyebaran patogen penyakit.
Selain itu, diperlukan metode yang lebih efektif dalam memantau perkembangan penyakit antar spesies. Dengan begitu, kita bisa mendapatkan informasi mengenai patogen baru lebih awal untuk mencegah terjadinya pandemi. Diperlukan juga kerja sama lintas negara untuk mengidentifikasi dan meningkatkan respon kesehatan masyarakat terhadap wabah dan pandemi.
Penulis: Yohanes Septian Sidabutar – CHRT SCORP CIMSA USU
Referensi
Boukerche, S & Roberts, RM 2020, Fighting infectious diseases: The connection to climate change, blogs.worldbank.org.
Suryandari 2022, Bumi Memanas, Virus Mengganas – Pusat Studi Lingkungan Hidup UGM, pslh.ugm.ac.id.
El-Sayed, A & Kamel, M 2020, ‘Climatic changes and their role in emergence and re-emergence of diseases’, Environmental Science and Pollution Research, vol. 27, no. 18, pp. 22336–22352.
Wu, X, Lu, Y, Zhou, S, Chen, L & Xu, B 2016, ‘Impact of climate change on human infectious diseases: Empirical evidence and human adaptation’, Environment International, vol. 86, no. 86, pp. 14–23.